Home » » Ujian Nasional. Masih relevan kah?

Ujian Nasional. Masih relevan kah?

Dalam beberapa tahun terakhir, penyelenggaraan ujian nasional
selalu diwarnai persoalan, mulai dari kebocoran soal dan kunci jawaban, contek massal, hingga penundaan pelaksanaannya di sepertiga wilayah Tanah Air.

Atas realitas ini, Wakil Presiden
Boediono meminta pelaksanaan UN dievaluasi kembali untuk melihat baik buruknya bagi pendidikan di Indonesia. Bahkan, Wapres lebih lanjut menekankan, Indonesia perlu mencari ide-ide baru, cara-cara baru, contoh-contoh baru, dan belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih maju (RRI, 20/4/2013).

Beberapa catatan

Pertama, jika UN dimaksudkan untuk menilai hasil belajar siswa terhadap apa yang telah dipelajari dan hasilnya akan dijadikan dasar untuk penentuan kelulusan, kelihatannya UN sudah tak relevan
lagi dilaksanakan.

Alasannya, sejak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II
pada era Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono, tingkat
kelulusan UN di jenjang SD, SLTP, dan SLTA, baik umum maupun kejuruan, selalu mencapai atau di kisaran 100 persen. Jika sudah jadi tradisi kelulusan seperti itu, tak tepat lagi digunakan dasar penentuan kelulusan.

tingkat kelulusan siswa SD di Jayapura pada 2012 mencapai 100 persen dan SLTP 99,57
persen atau lebih tinggi dibandingkan Yogyakarta yang 99,28 di jenjang SLTP. Jika semuanya sudah pasti lulus, buat apa lagi UN digunakan untuk menentukan kelulusan. Lalu,
bagaimana mungkin prestasi Papua lebih tinggi dari Yogyakarta. Dilihat dari sarana-prasarana dll.

Jika sekolah selalu meluluskan siswanya 100 persen, siswa merasa tak perlu belajar, guru tak termotivasi mengajar sungguh-sungguh, orang tua tak merasa perlu ikut bertanggung jawab atas mutu pendidikan, dan sebagainya.

pendidikan itu tanggung jawab semua pihak; siswa, masyarakat, dan pemerintah untuk mencapai mutu pendidikan lebih tinggi.

Kedua, jika UN dimaksudkan sebagai bagian untuk memetakan standar mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan Pasal 35 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kelihatannya sudah tak relevan dipertahankan.

Pada 21 Maret 2011, Mendikbud
Mohammad Nuh dalam rapat kerja
dengan Komisi X DPR melaporkan,
88,8 persen sekolah di Indonesia,
mulai dari SD hingga SMA/SMK,
belum melewati mutu standar
pelayanan minimal. Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di bawah standar pelayanan minimal dan 48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal. Hanya 10,15 persen memenuhi standar nasional pendidikan dan 0,65 persen
rintisan sekolah bertaraf internasional
( Kompas, 23/3/2011).

Jika digunakan logika sederhana,
dengan data itu, semestinya hanya
sekitar 11 persen siswa yang dapat
lulus 100 persen atau di kisaran 100 persen, 49 persen kelulusan di kisaran 55 persen, dan 40 persen lain di bawah batas kelulusan.

Jika suatu sekolah berada jauh di bawah standar minimal, misalnya tak punya guru yang memenuhi kualifikasi, tak punya perpustakaan, proses belajar mengajarnya belum berjalan normal, lalu tiba-tiba siswanya lulus 100 persen, dapat diduga pasti terjadi penyimpangan. Dengan kelulusan di kisaran 100 persen secara nasional dari penyelenggaraan UN, tak dapat
lagi dibedakan antara sekolah yang belum memenuhi standar layanan minimal dengan sekolah yang bertaraf internasional.

Ketiga, jika UN hendak dijadikan
dasar untuk menumbuhkan sikap
jujur, akhlak mulia, budi pekerti luhur, dan karakter bangsa yang tangguh sebagaimana tujuan pendidikan nasional, kelihatannya tak relevan lagi dipertahankan.

Jika pada diri anak muncul sportivitas bahwa ia belum
bisa berbahasa Inggris dengan baik, lalu ia lulus dengan angka tinggi, sesungguhnya ada pembelajaran secara tak langsung pada anak itu bahwa di Indonesia semua bisa diatur. Mungkin tak disadari, proses pendidikan seperti inilah yang akan menjauhkan anak dari kejujuran, kerja keras, dan kemandirian

Jalan keluar

Memperhatikan harapan Boediono
untuk mencari jalan keluar atas
kompleksitas penyelenggaraan UN
yang biayanya melewati setengah
triliun rupiah, hal-hal berikut perlu
dilakukan.

Pertama, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) perlu
dipertanyakan eksistensinya. Jika
dikaji, amanah yang terkandung pada Pasal 35 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, institusi
yang paling bertanggung jawab atas
segala hal terkait penjaminan dan
pengendalian mutu pendidikan
nasional adalah BSNP. Namun, di sisi
lain, tanggung jawab itu sulit
diwujudkan karena BSNP sebagai
satu-satunya institusi yang dapat
mandat UU untuk melakukan
standardisasi, penjaminan dan
pengendalian mutu dengan
mengembangkan, memantau, dan
melaporkan pencapaiannya belum
berjalan.

Keberadaan BSNP saat ini amat
berbeda dan menyimpang dari
tuntutan UU. Di sejumlah negara lain, kendali mutu pendidikan nasional
sangat bergantung pada kemandirian
dan profesionalisme badan
standardisasi atau lembaga
pengujiannya. Lembaga ini di
Malaysia bernama Lembaga
Peperiksaan Malaysia (Malaysian
Examinations Syndicate/MES), di
Inggris disebut Cambridge Local
Examinations Syndicate atau Oxford
Delegacy of Local Examinations, di
Hongkong disebut Hong Kong
Examinations and Assessment
Authority, di Selandia Baru bernama
New Zealand Qualifications Authority.

Lembaga-lembaga ini benar-benar
mandiri, menghimpun para ahli dan
praktisi dari semua bidang keilmuan
dan bidang studi di semua jenjang,
jenis, dan jalur pendidikan untuk
menyiapkan naskah ujian,
menentukan standar, mengolah
semua proses pelaksanaan ujian, dan
memberikan pengakuan. BSNP
kelihatannya lebih mirip Badan
Pertimbangan Pendidikan Nasional di
era Orde Baru dan sama sekali tak
punya kemampuan teknis menangani
UN secara mandiri. Jika yang
melaksanakan fungsi penyiapan dan
pelaksanaan UN adalah Pusat
Pengujian Balitbang, mengapa
institusi ini tak disiapkan sebagai
institusi profesional yang mandiri.
BSNP, jika masih diperlukan, dapat
berperan sebagai think tank
Kemdikbud.

Kedua, sesuai harapan Boediono,
agar tidak ada anak didik kita yang
tertinggal, kelihatannya pemerintah
dapat mempelajari bagaimana AS
memberlakukan The No Child Left
Behind Act (2001) semasa Presiden
Bush yang dilanjutkan oleh Presiden
Obama untuk meningkatkan standar
mutu pendidikan dasar dan
menengah secara merata di seluruh
negara bagian. Kebijakan ini
sesungguhnya adalah
penyempurnaan dari UU Pendidikan
Dasar dan Menengah 1965 semasa
Presiden Lyndon Johnson. Melalui
kebijakan tersebut dapat dipetik
berbagai cara meningkatkan standar
mutu pendidikan dan memperkecil
kesenjangan mutu antar sekolah,
mengembangkan sistem pengujian,
peningkatan kompetensi guru,
kebijakan subsidi, dan sebagainya.

Kebijakan itu sesungguhnya adalah
kerangka sistemik yang akan
mempersiapkan anak-anaknya
mendapatkan pendidikan terbaik
sesuai dengan tantangan abad ke-21.
Pendekatan sistemik seperti itu
sungguh diperlukan di negeri tercinta
ini. Akhirnya, semoga berbagai
musibah pengelolaan pendidikan
nasional kita akan menjadi pelajaran
berharga bagi kebesaran masa depan
kita bersama.

Sumber baca:
http://m.kompas.com/news/read/2013/04/24/13330933/Quo.Vadis.Ujian.Nasional--edukasi

POSTED BY Rahadi Teguh
POSTED IN
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply